Cacingan merupakan penyakit endemik dan kronik dengan prevelansi yang tinggi. Meski tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini akan berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia. Pada anak-anak, cacingan akan berdampak pada gangguan kemampuan untuk belajar, dan pada orang dewasa akan menurunnya produktivitas kerja.
BEGITU terungkap dalam acuan orientasi sehari Jumat (18/7) lalu di Kantor Wali Kota Denpasar. Orientasi ini dilakukan sehubungan dengan "Program Pemberantasan Cacingan untuk Siswa SD di Kota Denpasar" yang diselenggarakan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) daerah Bali, bekerjasama dengan Yayasan Kusuma Buana (YKB) dan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Hadir sebagai pembicara Kepala Laboratorium Parasitologi FK Unud, dr. I Nengah Kapti, yang membawakan makalah "Diagnose Cacingan Berdasarkan Pemeriksaan Tinja" dan Ketua PKBI Bali, dr. Nyoman Mangku Karmaya, dengan makalah "Program Pemberantasan Cacingan di Sekolah Dasar".
Dalam acuan itu disebutkan, bahwa di Indonesia pemberantasan cacingan sudah mulai ditangani sejak penjajahan Belanda pada 1930, ketika Rockefeler Foundation mendanai pemberantasan cacingan oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Setelah merdeka, masalah cacingan pernah jadi perhatian serius pemerintah dengan dibentuknya Sub Direktorat Cacing Tambang (SDCT) dan penyakit perut lainnya pada 1975. Namun pada 1984 SDCT itu digabung dengan Direktorat Diare dan Pemberantasan Cacingan (DDPC). Akhirnya lembaga itu dihapus akibat keterbatasan anggaran yang disediakan Pemerintah.
Pada 1992, Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesia (P4I) melaporkan data mengenai prevalensi dari cacing. Prevalensi cacing ascaris lumbricoides masih tinggi, antara 70%-90%, cacing trichuris trichiura antara 80%-95%, dan cacing tambang 30%-59%. Hasil penelitian YKB Jakarta pada 1987 menunjukkan bahwa angka cacingan di DKI Jakarta ternyata relatif tinggi, sekitar 78,6%, umumnya menyerang anak-anak usia SD.
Setelah dikembangkan program selama 15 tahun, angka itu jadi 10%. Sedangkan Lab Parasitologi Unud (2000) juga melaporkan bahwa angka cacingan penduduk pedesaan di Bali masih relatif tinggi. Dengan perincian 35% penduduk positif hork worm, 63% trichuris dan ascaris mencapai 74%. Berdasarkan karakteristik sosial budaya yang ada, penelitian itu juga memperkirakan bahwa persentase cacingan antara daerah pedesaan dan perkotaan di Bali tidak jauh mengalami perbedaan.
Berdasarkan referensi yang ada, anak-anak yang menderita cacingan akan mengalami kekurangan gizi dan anemia. Bila kondisi kronis ini berlanjut akan menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh anak dan mudahnya anak jatuh sakit. Menurut Direktur Pelayanan Kesehatan YKB, dr. Adi Sasongko, MA, ada beberapa sifat/pola cacingan yakni berkembang subur di daerah tropis, bersifat endemik, kronik, jarang menimbulkan kematian, re-infeksi akibat perilaku bersih, dan kondisi sanitasi. "Penularan terjadi melalui menelan telur cacing serta masuknya larva melalui pori kulit kaki," katanya.
Sementara itu Nengah Kapti mengatakan, prevalensi infeksi cacing usus di Indonesia cukup tinggi. Misalnya, di Desa seperti Blahkiuh ada 94%, kemudian mulai mendekati kota ada 84% kasus, Panjer hanya 15%. "Tingginya kejadian tersebut disebabkan anak kurang mendapat perhatian dari orangtua, walaupun sudah tahu anaknya cacingan," urainya. Cacingan ini memang jarang mematikan, tapi bisa mematikan, dan bisa menyerang anak-anak dan dewasa. Ditambahkan Kapti, sebagian besar cacing usus yang menginfeksi manusia memerlukan media tanah dalam proses penularannya. Cacing ini digolongkan dalam cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah. "Termasuk di dalamnya cacing gelang, cacing cambuk, dan cacing tambang. Sedangkan cacing yang tidak memerlukan tanah yaitu cacing kremi dan cacing pita," katanya.
* Komang Suadnyani
SUMBER : BALI POST Minggu Wage, 27 Juli 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar