MATAHARI di atas kepala. Panasnya menusuk sampai ke pori-pori. Anak-anak baru pulang sekolah. Mereka hanya meletakkan tasnya di rumah, langsung keluar, masih dengan seragam sekolah, mengerumuni penjual "spageti" yang tidak berhenti melayani pembeli.
ANAK-anak tidak biasa makan di rumah, ujar Leila (30). Ibu tiga anak yang melahirkan anak pertamanya pada usia 15 tahun itu mengatakan, ia jarang masak, khususnya pada siang hari. "Malam juga jarang, sukanya jajan," sambungnya.
Perempuan penjual "spageti" itu masih terus sibuk memecahkan telur, mencampurnya dengan mi basah, vetsin, merica, garam, dan tiga empat potong kecil daun loncang, mengaduk, dan menggorengnya di wajan dengan minyak yang sudah hitam warnanya. Anak-anak menunggu dengan mata menyiratkan selera. Beberapa kali mereka menelan air liurnya. "Tunggu, masih dua lagi, baru untuk kamu," ujar si penjual.
Beberapa orang tua menunggu sambil duduk di huma di atas sampah. Lalat beterbangan dan hinggap di atas kue tart yang dijual seharga Rp 1.000 seiris. Anak-anak itu menikmati "spageti" dengan sambal botol. Tangan-tangan kecil mereka sibuk menghalau lalat yang berusaha hinggap di makanan.
Setelah "spageti", mereka mengambil makanan lain dan minuman, termasuk es mambo warna-warni yang harganya Rp 100 per satuan. Seorang anak perempuan berusia sekitar tiga tahun dengan baju lusuh dan wajah kotor mengulum es mambo berwarna merah seraya mengusap air matanya setelah melontarkan sumpah serapah dan kata-kata kotor karena diganggu orang-orang dewasa.
"Sehari bisa habis Rp 50.000," ujar Leila. Kadang-kadang ia membuat lauk dan sayur, meski anak-anak tak mau makan. Suami Leila seorang nelayan yang penghasilannya tidak menentu.
Jajan adalah kegiatan yang sulit ditinggalkan anak-anak di Pulau Panggang, salah satu pulau di gugus Kepulauan Seribu. "Paling sedikit satu hari Rp 10.000 per anak," ujar Nining (38), ibu tiga anak. "Semua dibeli, dari ciki, spageti, bakso, es, bon-bon, kerupuk, kue, apa saja," tambahnya. Tiga bulan lalu, suaminya meninggal, tanpa diketahui secara jelas apa penyakitnya. "Sesak, enggak bisa napas. Udah dibawa ke puskesmas, enggak sembuh juga."
Bahkan anak berusia tiga tahun pun sudah biasa berutang di warung kalau ia tidak memegang uang. "Di sini biasa begitu," tanggap Abdulsyukur. Anak bungsunya terbiasa mengambek, memukul, dan bahkan mengamuk kalau keinginannya membeli suatu jajanan tidak dipenuhi. "Susunya kuat," katanya. "Setiap hari bisa habis dua kaleng kecil. Itu saja sudah Rp 7.000, belum lainnya. Makannya kurang, jajannya kuat," sambung ayah dari dua anak ini.
Perawakan anak itu kecil. Tubuhnya kurus dan lembek. Matanya tidak jernih, sebagaimana layaknya anak kecil. "Susu yang disukainya itu susu kental manis yang kadar gulanya tinggi, bukan yang full cream," ungkap dr Adi Sasongko MA dari Yayasan Kusuma Buana (YKB).
DI pulau yang luas awalnya sekitar 9 hektar itu, terik mentari membuat orang sulit bernapas. Sampah plastik, kertas, dan limbah rumah tangga lainnya dibuang di pantai yang mengitarinya. Tiga hektar tambahan lahan dari reklamasi juga sudah dipenuhi bangunan untuk berbagai usaha. Tidak tampak ruang terbuka yang hijau.
Menurut Camat Kepulauan Pulau Seribu Utara, H Anwar, Pulau Panggang yang berpenduduk sekitar 940 KK dengan 3.100 jiwa itu, hanya 30 persen rumah yang memiliki jamban. Namun keterangan lain menyebutkan, hanya 60 rumah yang mempunyai jamban. Entah mana yang benar, tetapi memang banyak terlihat jamban umum. Siang itu di pinggir pantai, tampak dua anak sedang buang air besar sambil mengulum permen loli. Jamban itu terbuka dan tidak tampak saluran pembuangannya. Kotoran anak-anak itu langsung jatuh ke air laut yang penuh sampah.
"Tidak mudah mengubah cara atau gaya hidup penduduk. Ini persoalan budaya," ujar H Anwar. Sebenarnya proses jambanisasi telah berlangsung selama beberapa tahun, namun kurang berhasil karena sebagian penduduk memilih membuang air di WC umum dan di pinggir pantai. Katanya, penduduk tidak terbiasa mempunyai jamban di rumah karena rumahnya sempit dan jarak sumur dengan kamar mandi terlalu dekat.
Pihaknya sekarang akan berupaya membuat saluran pembuangan yang dihubungkan ke rumah-rumah penduduk, namun semua itu masih dalam perencanaan. Rumah-rumah di pulau itu memang tampak padat dengan halaman sangat sempit. Kepadatan penduduk tergolong tinggi, dengan 360 orang per hektar dari idealnya, antara 10-100 orang per hektar.
Soal cara dan gaya hidup, memang unik. Sebagaimana di banyak permukiman padat, khususnya di kota-kota besar, pemahaman penduduk mengenai sanitasi, kebersihan dan kesehatan lingkungan secara umum, berbanding terbalik dengan konsumtivisme. Kalau kebersihan seperti deret hitung, konsumtivisme melaju seperti deret ukur. Pengetahuan dan pendidikan orangtua di Pulau Panggang yang terbatas membuat kemampuan menyeleksi informasi dari media massa, khususnya elektronik, juga terbatas. Padahal di hampir di semua rumah, televisi menyala dari pagi hingga malam.
Kalau tidak jajan di luar, anak-anak dan orangtua yang tidak bekerja bergolekan di depan televisi yang terus-menerus menyodorkan berbagai jenis iklan. Semua jenis makanan dan minuman dengan kemasan plastik yang iklannya ditayangkan, dengan sasaran pembeli anak-anak dan perempuan ibu rumah tangga, dijual di warung-warung. Demikian juga krim pemutih dan berbagai produk kecantikan.
Pemandangan sesiang itu dengan jelas menunjukkan pemahaman warga mengenai cara hidup sehat dan pemenuhan gizi khususnya untuk anak, masih sangat kurang. Padahal, sumbernya sebenarnya cukup. "Ikan sebagai sumber protein berlimpah," kata dr Adi. Namun, anak-anak mungkin bosan karena tidak ada kreasi dalam masakan. "Rasanya kita juga perlu mengajari ikannya mesti diapakan, supaya anak-anak tidak banyak jajan," ujarnya. Sayur-mayur, sebagai salah satu sumber vitamin, memang lebih mahal karena dibeli dari Jakarta.
"Dalam berbagai pelatihan kami mengajarkan kepada warga bagaimana menanam sayur-sayuran di lahan sempit," sambung Mundy Mahaswiyati, Program Officer untuk Cacingan dan Gizi YKB. Dokter Adi menambahkan, YKB mempunyai program khusus di sekolah-sekolah sebagai upaya intervensi agar murid, guru, dan orangtua memahami gizi dan kesehatan dasar, sekaligus mempraktikkan pola hidup sehat.
"Di berbagai SD di Jakarta, sekali seminggu anak-anak membawa makanan ke sekolah dan makan bersama teman-temannya. Di sana mereka saling mencicipi lauk dan sayur yang dibawa teman-temannya. Ini merupakan proses pembelajaran langsung dalam penyuluhan tentang anemia dan cacing," ujar dr Adi. Sejak tahun 1997, YKB melakukan program yang sama di enam SD di Pulau Kelapa, Pulau Harapan, Pulau Panggang, dan Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu, namun praktik makan bersama di sekolah belum dilakukan.
ISU kesehatan seperti cacingan dan anemia tidak mendapat banyak perhatian karena dipandang tidak "seseksi" isu-isu kesehatan yang lain. Padahal, seperti dikemukakan Ninuk Widyantoro dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) anemia merupakan isu yang kritis, khususnya kalau dihubungkan dengan angka kematian ibu melahirkan (AKI) akibat anemia berkisar 70 persen dari seluruh penyebab AKI sejak 20 tahun lalu. "Angka itu tidak pernah turun," ujar Ninuk.
Anemia merupakan salah satu pemicu pendarahan. Hasil survei menunjukkan, 40-60 persen penyebab kematian ibu hamil dan melahirkan adalah karena pendarahan, 20-30 persen akibat infeksi jalan lahir, dan 20-30 persen akibat keracunan. Sebagai catatan, AKI di Indonesia adalah tertinggi di Asia, mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup, kalau dihitung rata-rata, menurut statistik formal. Namun, angka sebenarnya tak pernah bisa ditebak.
Menurut Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) tahun 2004, di banyak tempat, AKI masih menunjukkan angka yang tinggi, khususnya di Papua, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan berbagai tempat lainnya di Indonesia. Namun, di balik persoalan AKI yang tinggi ini tersembunyi berbagai persoalan serius lainnya yang jarang muncul ke permukaan, yang bermuara pada satu situasi: rendahnya status perempuan dalam hampir semua kebudayaan di Indonesia (dan dunia). Di Pulau Panggang, misalnya, sebagian besar ibu rumah tangga hanya berpendidikan SD, dan anak-anak perempuan tidak banyak yang melanjutkan pendidikannya ke tingkat lebih tinggi. Perkawinan usia dini terus berlangsung.
Anemia akibat kekurangan zat besi diderita oleh sekitar 1,3 miliar manusia di dunia, sebagian besar di negara berkembang. Selama ini, berbagai program menyasar pada terapi untuk meningkatkan kadar besi adalah dengan pemberian tablet besi folat sampai batas Hb normal mencapai sedikitnya 120 gram per liter pada remaja (WHO, 1995).
Namun, penanganan pada saat kehamilan, menurut dr Adi, sebenarnya terlambat belasan tahun, karena dasar persoalannya sudah dimulai sejak masa pertumbuhan anak yang paling dini. Padahal, tak banyak program mau menyasar ke akar persoalannya, seperti melihat asupan gizi dan cara serta gaya hidup, yang pendekatannya lebih kepada proses.
Cacingan dan anemia merupakan dua hal saling terkait. Pemberantasan anemia dan cacingan, menyangkut khususnya perubahan cara serta gaya hidup sejak usia dini anak akan berjalan lebih panjang karena budayalah yang diintervensi. Namun, hasilnya akan jauh lebih baik karena yang dibidik adalah kesadaran. Sebagai gambaran, program YKB di 632 SD di Jakarta dengan jumlah siswa 171.374 selama tahun 1987-2003 telah menurunkan prevalensi dari 78,6 persen menjadi 8,4 persen.
Cacing askaris, yang diderita 83,9 persen anak di Pulau Panggang pada tahun 1997, adalah cacing gelang, ukurannya sebesar pensil, panjangnya sekitar 30-40 cm. Cacing trikhuris yang diderita oleh 82,7 persen anak di situ pada tahun 1997 adalah cacing cambuk, yang panjangnya hanya 3-4 cm. Cacing tambang hanya diderita kurang dari 1 persen anak. Pada tahun 2004, jumlah anak cacingan (askaris) menurun sampai 56,2 persen dan trikhuris menjadi 10,7 persen.
"Kedua cacing itu memang tidak sejahat cacing tambang, tetapi kemampuan cacing askaris mencuri zat gizi dari usu sangat besar karena ukurannya besar dan jumlahnya banyak," ujar dr Adi. Tercurinya zat gizi dari usu ini menyebabkan kekurangan micronutrient sehingga anak yang cacingan berat akan kurang gizi dan anemia.
"Anak yang cacingan berat biasanya sering mengalami diare sehingga kemampuannya belajar menurun. Pada orang dewasa, produktivitasnya yang menurun," sambung dr Adi. Pada ibu hamil, kekurangan micronutrient menyebabkan menurunnya kemampuan untuk melahirkan anak-anak yang sehat dan berotak cerdas. Sementara cacing trikhuris dapat menimbulkan perdarahan kecil yang dapat menimbulkan anemia, meski tak separah cacing tambang.
Pendekatan yang banyak dilakukan selama ini adalah dengan blanket treatment. "Maunya semua orang dikasih obat tanpa pemeriksaan," ujarnya. Pendekatan jenis ini tidak kondusif untuk mendorong budaya hidup bersih dan sehat karena penekanannya pada konsumsi obat. "Malahan akan mendorong konsumsi suplemen yang hanya akan menguntungkan pabrik obat," sambungnya.
YKB, menurut dr Adi, melakukan pendekatan selektif, yang ditekankan pentingnya pemberdayaan perilaku bersih lewat penyuluhan dan pemeriksaan faeces anak dua kali setahun. Cacingannya diobati, tetapi bersamaan dengan itu dilakukan pendekatan lain dalam upaya mengubah mindset mereka tentang cara dan gaya hidup.
Sayangnya, pada banyak program pemberantasan penyakit yang diprakarsai pemerintah, sifatnya lebih banyak sebagai proyek. Kuantitas atau cakupan masih dianggap lebih penting karena proyek mempunyai jangka waktu. Sasaran pada proses dan kualitas menjadi bukan pilihan.
Pendekatan seperti ini sebenarnya juga tampak dari pandangan bahwa pembangunan puskesmas saja cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan dasar.
Sekali lagi, pendekatan pencegahan dan penyuluhan tidak menjadi perhatian-atau dilakukan tetapi bukan penyuluhan dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanya berupa satu-dua kali pertemuan-meski terus dibicarakan pada setiap seminar dan dilontarkan pada setiap pidato pejabat.
Pendekatan yang dilakukan dr Adi dan kawan-kawannya adalah pendekatan yang tidak populer, tetapi justru kerja mereka inilah yang akan mengubah kualitas hidup rakyat di tingkat akar rumput.
Pemandangan sesiang di Pulau Panggang, misalnya, juga memperlihatkan pentingnya merombak cara pandang mengenai kemiskinan dan kategori orang yang dianggap "miskin".
Uang jajan anak Rp 50.000 sehari tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori kemiskinan material, tetapi kemiskinan pendidikan (kritis), pengetahuan, dan kesadaran tentang hidup bersih dan sehat. Dalam hal ini, definisi kemiskinan yang umum digunakan tampaknya juga harus direvisi.
Penurunan AKI, yang menjadi target Millenium Development Goals, harus dimulai dari tingkat yang paling dasar dan dari perubahan cara pandang tentang hidup dan berkehidupan. (maria h
SUMBER : KOMPAS CYBER MEDIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar