Selasa, 09 Desember 2008

Efek Psikologis Penderita Obesitas

Oleh :

Khairudin

Obesitas adalah istilah yang sering digunakan untuk menyatakan adanya kelebihan berat badan. Kata obesitas berasal dari bahasa Latin yang berarti makan berlebihan, tetapi saat ini obesitas didefinisikan sebagai kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.

Obesitas pada remaja sampai saat ini masih merupakan masalah yang kompleks. Penyebabnya multifaktorial sehingga menyulitkan penatalaksanaannya. Obesitas mempunyai dampak terhadap perkembangan remaja terutama aspek perkembangan psikososial. Seorang remaja yang menderita obesitas sering terasing dalam pergaulan, merasa rendah diri, menarik diri dari pergaulan dan mengalami depresi. Selain itu obesitas pada masa remaja berisiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi mengalami pelbagai kesakitan dan kematian antara lain penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, dan lain-lain.

Obesitas saat ini sudah merupakan masalah global. Prevalensinya meningkat tidak saja di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang. Perkembangan teknologi dengan penggunaan kendaraan bermotor dan berbagai media elektronika memberikan dampak berkurangnya aktivitas fisik yang akhirnya mengurangi keluaran energi.

Hasil survey Indeks Massa Tubuh (IMT) tahun 2006 di kota Kendari menemukan sebanyak 19,0% penduduk kota Kendari mengalami obesitas, terutama didaerah perkotaan angka prevalensi obesitas cenderung meningkat Hal ini diakibatkan meningkatnya status sosial ekonomi dan perubahan gaya hidup sebagian masyarakat. Beradasarkan hasil survei IMT tahun 1996/1997 didapat bahwa 8,1% laki-laki dan 10,5 % perempuan berumur lebih dari sama dengan 18 tahun mengalami gizi lebih, sedangkan 6,8% laki-laki dan 13,5% perempuan berumur lebih dari sama dengan 18 tahun mengalami obsitas. Berdasarkan penelitian di karawang didapat bahawa status gizi siswa SLTP favorit di pusat kota karawang 19,7% mengalami kegemukan.

Akumulasi lemak dalam tubuh merupakan hasil dari suatu keseimbangan positif antara sumber energi yang masuk dan energi yang dikeluarkan. Hal ini merupakan konsekuensi asupan yang berlebihan pengurangan pengeluaran atau keduanya. Secara umum lemak dalam tubuh adalah 20-27% dari jaringan tubuh untuk perempuan dan 15-22% pada laki laki.

Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer / games, nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas. Menonton tv berdampak pada kontrol berat badan karena menurunkan aktifias fisik dan mengurangi pembakaran lemak tubuh serta memakan makanan yang tidak bergizi, manis, seperti yang sering ditayangkan diiklan TV.

Bila ditinjau dan aspek psikologik, obesitas dapat merupakan suatu kondisi tersendiri yang antara lain merupakan gejala dari gangguan makan (misalnya bulimia nervosa), atau merupakan kondisi yang berkaitan dengan citra-diri dan harga-diri, yang mempunyai dasar psikodinamika tertentu. Pada makalah ini hanya akan dibahas mengenai obesitas sebagai gejala dari gangguan makan, isertai penanganannya secara garis besar.

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak.

Etiologinya multifaktorial, baik faktor individual (biologik dan psikologik) maupun lingkungan. Bila faktor yang dapat merupakan etiologi yang berasal dari individu seperti gangguan endokrin, serta faktor organik lainnya ternyata tidak ditemukan, kondisi ini dapat merupakan konsekuensi seseorang yang tidak dapat mengendalikan keinginannya untuk makan. Bagi orang tersebut., makan dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan untuk mengganti energi yang telah digunakan dan dikeluarkan pada aktivitas fi sik atau psikologik tertentu, melainkan karena memang ingin makan dan makan, yang tidak mampu dikendalikan olehnya.

Kondisi ingin makan dan makan itu termasuk dalam kelompok gangguan makan dalam PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) maupun dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorders). Gangguan makan tersebut, yang kondisi pasiennya biasanya tampak gemuk atau mengalami obesitas, terdiri atas binge-eating disorder dan bulimia nervosa.

Pada binge-eating disorder gejala yang ditemui yaitu seseorang makan pada suatu periode tertentu, dengan jumlah yang lebih banyak dan lebih cepat daripada kebanyakan orang, hingga ia merasa benar-benar sangat kenyang (uncomfortably full). Biasanya makan dilakukan tidak pada saat lapar, seorang diri karena malu makan dalam jumlah besar. Biasanya orang tersebut mengalami

depresi atau merasa bersalah setelah makan Bulimia adalah kecenderungan atau dorongan untuk makan banyak, berlebihan, mungkin disertai nafsu makan besar mungkin pula tidak Gejalanya serupa dengan binge eating disorder disertai perilaku mengeluarkan kembali makanan tersebut, baik dengan cara memuntahkan atau dengan menggunakan pencahar.

Bom Waktu Dalam Tubuh Penderita Obesitas

Oleh : Arief Darmawan

Kata obesitas berasal dari bahasa Latin: obesus, obedere, yang artinya gemuk atau kegemukan. Obesitas atau gemuk merupakan suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Pendapat lain mengatakan bahwa obesitas merupakan gangguan medik kronik yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat diobati.

Obesitas (WHO) adalah suatu kondisi terjadi akumulasi lemak yang banyak dalam tubuh.12 Timbunan lemak yang banyak dalam tubuh akan dapat menimbulkan dampak buruk pada kesehatan dan kesejahteraan hidup berikutnya. Dislipidemi adalah kondisi yang mengikuti obesitas; terjadi gangguan metabolisme lipid yang ditandai dengan perubahan fraksi lipid plasma.

Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi.

Perubahan perilaku, gaya hidup, pola makan, dan factor peningkatan pendapatan serta peran orang tua mampu mempengaruhi perubahan dakam pemilihan jenis makanan dan jumlah yang akan dikonsumsi.

Berdasarkan penyebabnya obesitas dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :

a. Obesitas primer

Suatu keadaan kegemukan pada seseorang yang terjadi tanpa terdeteksi penyakit secara jelas, tetapi semata – mata disebabkan oleh interaksi factor genetic dan lingkungan

b. Obesitas sekunder

Merupakan suatu bentuk obesitas yang jelas kaitannya atau timbulnys bersamaan sebagai bagian dari penyakit hormonal atau sindrom yang dapat dideteksi secara klinis.

Prosentase lemak tubuh pada anak dan remaja yang meningkat berhubungan dengan adanya peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular di kemudian hari; terjadi jika prosentase lemak tubuh lebih dari 30% pada anak wanita dan lebih dari 25% pada anak laki-laki. Pada penelitian terhadap 9617 anak usia 5-17 tahun oleh Bogalusa Heart Study didapatkan adanya korelasi obesitas yang sangat kuat dengan aterogenik dislipidemia (peningkatan kadar trigliserid dan HDL-kolesterol yang rendah).

Penanggulangan obesitas pada anak lebih sulit dibandingkan obesitas dewasa. Karena penyebab obesitas yang multifaktorial dan yang masih dalam tahap tumbuh dan kembang. Penurunan berat badan bukanlah tujuan yang utama dalam penanganan obesitas anak. Perubahan pola makan dan perilaku hidup sehat lebih diutamakan untuk mendapatkan hasil yang menetap.

Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas dimasa dewasa dan berpotensi mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif dikemudian hari. Profil lipid darah pada anak obesitas menyerupai profil lipid pada penyakit kardiovaskuler dan anak yang obesitas mempunyai risiko hipertensi lebih besar. Penelitian Syarif menemukan hipertensi pada 20 – 30% anak yang obesitas, terutama obesitas tipe abdominal. Dengan demikian obesitas pada anak memerlukan perhatian yang serius dan pananganan yang sedini mungkin, dengan melibatkan peran serta orang tua.

Perubahan fisiologis, metabolisme atau biokimia maupun psikologis dan sosiologis yang trejadi pada anak yang mengalami obesitas baik yang ringan sedang atau berat akan menjadi konsekuensi yang tidak mendapat perhatian sampai dengan komplikasi yang menyulitkan atau mempengaruhi kesehatan anak secara umum dan morbiditas yang membahayakan individu yang bersangkutan pada masa anak ataupun pada kehidupan selanjutnya. Walaupun hasil penelitian longitudinal menunjukan bahwa hanya 25% - 50% anak dengan obesitas atau paling banyak 74% menjadi dewasa dengan obesitas dan sebaliknya sekitar 30% - 64% adipositas relative pada seorang remaja dapat diramalkan dari pengukuran derajat adipositas pada saat antara umur 6-11 tahun tetapi mengingat morbiditas obesitas pada orang dewasa seringnya fatal maka hal ini perlu diperhatikan dan dijadikan motivasi bagi orang tua maupun para petugas kesehatan untuk melakukan deteksi dini, pencegahan maupun pengobatannya.

Konsekuensi Psikososial

Bagi remaja awal, khususnya perempuan, obesitas secara langsung akan mempengaruhi penampilan fisik mereka dan tidak dapat dipungkiri bahwa penampilan dapat mempengaruhi bagaimana individu memandang dirinya dan akhirnya akan mempengaruhi konsep dirinya. Konsep diri sendiri dapat didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai dirinya sendiri yang meliputi kualitas fisik, psikologis dan sosialnya, yang merupakan hasil dari pengalaman individu berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya.

Karena adanya perbedaan secara fisik dengan anak sebaya, anak dengan obesitas merupakan subjek terhadap stress psikologis terutama dari lingkungan sosialnya dirumah ataupun disekolah. Dengan demikian anak dengan obesitas ini akan menjadi target diskriminasi social secara dini. Kesulitan lain adalah dalam pemilihan pakaian maupun perlengkapan pribadi lain, begitupula secara psikologis orang tidak mengenal mereka dapat memperlakukan mereka sebagai lebih tua dari umur yang sebenarnya.

Konsekuensi Medis

a) Pertumbuhan

Anak berat badan lebih cenderung lebih tinggi mengalami proses maturasi lebih cepat dibandingkan dengan anak yang berat badannya normal. Maturasi ini dapat ditentukan dari umur tulang, kecepatan terjadinya tinggi maksimal dari umur menarche.

b) Penyakit Kardiovaskuler

Penelitian dari National Heart, Lung, and Blood Institute Amerika menunjukkan hasil adanya hubungan yang sangat erat antara penyakit kardiovaskuler dengan obesitas.

Framingham study selama 18 tahun pengamatan menunjukkan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam kejadian penyakit kardiovaskuler, terutama kejadian hipertensi, hiperkolesterolemi, dan hipertrigliseridemia, apabila indeks Broca > 120%.

Faktor Risiko ini meliputi peningkatan: kadar insulin, trigliserida, LDL-kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL- kolesterol. Risiko penyakit Kardiovaskuler di usia dewasa pada anak obesitas sebesar 1,7 - 2,6. IMT mempunyai hubungan yang kuat (r = 0,5) dengan kadar insulin. Anak dengan IMT > persentile ke 99, 40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15% mempunyai kadar HDL-kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar trigliserida tinggi. Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, sekitar 20-30% menderita hipertensi.

Hiperlipidemia merupakan kelainan metabolisme lipida, terutama yang ditandai dengan meningkatnya kadar kolesterol atau trigliserida atau keduanya dalam darah dalam keadaan puasa. Apabila hasil laboratorium menunjukkan hiperlipidemia, secara tidak langsung ini menggambarkan juga terjadinya kenaikkan satu atau beberapa lipoprotein yang mengandung kolesterol atau trigliserida dalam darah, sehingga keadaan ini disebut juga sebagai hiperlipoproteinemia ( Sri Hartini, 1994 dalam Purwanto, 2003 ).

Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia pada akhir-akhir ini menjadi perhatian para eksekutif muda, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyimpangan metabolisme lipid dan trigliserida dalam tubuh ini bertalian erat terjadinya keadaan atheroslerosis yang merupakan penyebab timbulnya penyakit kardiovaskuler.

c) Intoleransi Glukosa dan Diabetes Mellitus

Meskipun data tersedia mengenai frekuensi intoleransi glukosa pada anak dan remaja dengan obesitas, suatu observasi mengenai kasus diabetes mellitus di Amerika Serikat tahun 1996 menunjukan bahwa sepertiga dari kasus baru sedikit banyak merupakan efek peningkatan prevalensi obesitas pada remaja.

Angka kejadian obesitas dan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 di Amerika dan negara-negara industri lainnya telah mencapai derajat epidemik. Kongres International Diabetes Federation (IDF) ke-8 tahun 2003, melaporkan bahwa pada abad ini, dunia akan mengalami pandemic diabetes. Prevalensi diabetes di dunia adalah 7,5%, sedangkan di Asia sekitar 13,2%. Pada pertemuan tersebut juga dilaporkan bahwa pada tahun 2010, prevalensi diabetes akan meningkat dengan pesat sehingga mencapai 221 juta penderita.

d) Obstruktive Sleep Apnea

Sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak didaerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah, sehingga keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Gejala ini berkurang seiring dengan penurunan berat badan.

e) Komplikasi Ortopedik

Karena adanya keterbatasan kekuatan tulang dan kartilago pada seorang anak untuk dibebani kelebihan berat badan tertentu, maka berbagai komplikasi ortopedik misalnya hipertropi dan hiperplasi bagian medial metafisis tibia proximal dapat menyertai obesitas pada anak maupun remaja.

Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul.

Selasa, 09 September 2008

HASIL SURVEI WHO

Waspada Cacingan Setelah Banjir

Cacingan bukan hanya penyakit yang bisa terjangkit pada anak-anak, tapi juga pada orang dewasa. Tak heran bila jumlah penderita cacingan di Indonesia, saat ini masih tergolong tinggi. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui pencegahannya.

Perkembangan larva dan telur cacing sangat tergantung pada kelembaban udara. Pertumbuhan cacing sangat meningkat saat musim hujan tiba, apalagi bila diikuti meluapnya sungai dan kakus yang membuat cacing dan larva menyebar ke berbagai sudut serta masuk ke dalam tubuh manusia.

Faktor sosial ekonomi yang buruk, kebersihan yang tidak terjaga, dan kepadatan penduduk juga bisa jadi salah satu penyebabnya.

Ada beberapa jenis cacing yang dapat hidup dalam tubuh manusia sebagai parasit, terkadang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dari yang ringan hingga berat. Kenali jenis dan gejala cacingan:

1. Cacing Gelang
Gejala: Sering kembung, mual, dan muntah-muntah. Kehilangan nafsu makan dibarengi diare, akibat ketidakberesan di saluran pencernaan. Pada kasus yang berat, penderita mengalami kekurangan gizi. Cacing gelang yang jumlahnya banyak, akan menggumpal dan berbentuk seperti bola, sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan di saluran pencernaan.

2. Cacing Cambuk
Dapat menimbulkan peradangan di sekitar tempat hidup si cacing, misalnya di membrane usus besar. Pada kondisi ringan, gejala tidak terlalu tampak. Tapi bila sudah parah dapat mengakibatkan diare berkepanjangan. Jika dibiarkan akan mengakibatkan pendarahan usus dan anemia. Peradangan bisa menimbulkan gangguan perut yang hebat, yang menyebabkan mual, muntah, dan perut kembung.

3. Cacing Tambang
Cacing tambang menetas di luar tubuh manusia, larvanya masuk kedalam tubuh melalui kulit. Cacing tambang yang hidup menempel di usus halus menghisap darah si penderita. Gejala yang biasa muncul adalah lesu, pucat, dan anemia berat.

4. Cacing Kremi
Telur cacing ini masuk ke dalam tubuh melalui mulut, lalu bersarang di usus besar. Setelah dewasa, cacing berpindah ke anus. Dalam jumlah banyak, cacing ini bisa menimbulkan gatal-gatal di malam hari. Tidak heran bila si kecil nampak rewel akibat gatal-gatal yang tidak dapat ditahan. Olesi daerah anusnya dengan baby oil dan pisahkan semua peralatan yang bisa menjadi media penyebar, seperti handuk, celana, pakaian.

Penanganan Cacingan
Pemberian obat cacing merupakan salah satu cara mencegah cacingan. Kendati obat cacingan dijual bebas, sebaiknya tetap memberikan obat hanya bila ada indikasi saja. Atau, berilah obat cacingan minimal setahun sekali pada anak di atas usia 1 tahun. Sedangkan usia di bawah 1 tahun, konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter.

Pencegahan Cacingan
1. Biasakan mencuci tangan dengan sabun dan air bersih setelah dari kamar mandi, sebelum makan, setelah makan, atau setelah bermain, khususnya di luar rumah.
2. Cuci buah dan sayuran, kupas kulit buah sebelum di makan.
3. Kenakan alas kaki bila ingin bepergian atau bermain di luar halaman.
4. Ajari anak untuk tidak memasukkan tangan ke dalam mulut.
5. Potong kuku secara teratur, kuku panjang dapat menjadi tempat bermukim larva cacing.
6. Jaga kebersihan sanitasi lingkungan, misalnya dengan rajin membersihkan kakus atau septictank.

SUMBER : HALO-HALO


Tepatkah Pemberian Obat Cacing

Cacingan, salah satu penyakit tergolong tinggi kejadiannya di Indonesia. Penyebabnya hewan parasit berukuran mikro yang mengambil makanan dari usus yang berisi banyak sari makanan. Cacing masuk ke tubuh dalam fase larva merupakan penyakit endemis dan kronis yang bisa meningkat tajam pada waktu musim hujan dan banjir.

Larva cacing biasanya menyebar ke berbagai tempat untuk menginvasi tubuh manusia. Cacing memasuki tubuh melalui dua jalan yakni mulut saat makan makanan yang tidak dicuci bersih dan dimasak setelah terkontaminasi lalat yang membawa larva cacing, serta lewat pori-pori saat anak tak memakai alas kaki ketika berjalan di tanah.

Lewat cara ini larva masuk ke pembuluh darah dan sampai di tempat yang memungkinkan perkembangannya seperti di usus, paru-paru, hati dan sebagainya.

Perkembangannya membutuhkan waktu 1-3 minggu di tubuh manusia. Tahapan selanjutnya penderita biasanya kondisi gizi menurun sehingga kesehatan mereka terganggu. Bila dibiarkan terlihat kulit anak pucat, tubuh makin kurus serta perut membuncit karena kekurangan protein. Pada kondisi sangat berat, cacingan bisa menimbulkan peradangan pada paru yang ditandai dengan batuk dan sesak, sumbatan di usus, gangguan hati, kaki gajah dan perforasi usus. Pada keadaan ini obat cacing tak lagi membantu secara optimal. Cacingan banyak didapati pada daerah dimana kondisi kebersihannya dibawah standar.

Cacing penyebab penyakit ini antara lain cacing gelang banyak ditemukan di daerah tropis berkelembaban tinggi. Cacing ini hidup di usus halus dan hanya hidup dalam tubuh manusia. Selain cacing gelang ada juga cacing cambuk yang banyak ditemukan di daerah tropis. Perbedaannya adalah tempat hidup yang lebih sering di usus besar dan sering dikaitkan dengan penyakit usus buntu pada anak. Jenis lainnya cacing tambang sebagai jenis terbanyak ditemukan penyebarannya di seluruh dunia, biasanya masuk melalui pori-pori lewat tanah yang dipijak, kemudian cacing kremi sering menimbulkan gatal di daerah anus serta cacing pita yang siklus hidupnya sedikit berbeda karena biasanya hidup di tubuh hewan seperti sapi atau babi dan menyebar lewat konsumsi daging yang tidak dimasak dengan benar.

Untuk Pencegahan
Untuk mengobati cacingan, banyak obat cacing diberikan pada anak bertujuan untuk mengeluarkan cacing segera bersama feses hanya dalam dosis sekali minum. Sekilas terlihat simpel, kenyataannya banyak orangtua yang memberikan obat ini enam bulan sekali pada anak untuk mencegah penyakit ini.

Namun secara medis tidak semudah itu memutuskannya. Obat cacing yang dipilih harus diperhatikan benar karena tidak semuanya cocok pada anak.

Anjuran pemberian 6 bulan sekali sebenarnya didasarkan pada siklus hidup cacing agar tidak sampai berkembang menjadi dewasa. Bagaimana bila sebenarnya tidak ada serangan cacing pada anak, apakah obat ini mampu menjadi tindakan pencegahan?

Agaknya pertanyaan ini sering dijumpai dokter di prakteknya. Tujuan pencegahan tak sepenuhnya dibenarkan. Kuncinya ada pada masalah pemeriksaan. Anjuran terbaik sebenarnya ada pada pemeriksaan feses terlebih dahulu sebelum memutuskan pemberian obat cacing, terlebih orangtua yang menganggap tubuh kurus anaknya disebabkan cacingan.

Ada banyak kondisi kesehatan lain yang mungkin mengganggu pertumbuhan fisik, bila masalahnya tak terletak pada penyakit ini tentu pemberian obat cacing tidak tepat. Bila ditemukan larva cacing pada feses atau ada gejala lain yang lebih jelas, obat cacing perlu diberikan dan tak selamanya ukuran 6 bulan menjadi patokan karena sewaktu-waktu ada indikasi lain bisajadi dipertimbangkan lebih pendek dari 6 bulan.

Dalam keadaan tertentu terutama di daerah pinggiran yang higienitasnya belum terjaga, tindakan pemberian obat cacing masih rasional karena serangkaian penelitian medis yang pernah dilakukan sering menemukan tingginya persentase anak yang terserang cacingan, kesadaran penduduknya terhadap kesehatan masih kurang baik.

Tindakan pencegahan utama terhadap cacingan bukan terletak pada obat, namun pada penjagaan higienitas sehari-hari mulai lingkungan sekitar, tempat bermain anak, anjuran mencuci tangan dengan sabun, memakai alas kaki bila keluar rumah hingga kebersihan makanan sehari-hari seperti pencucian sayuran dan cara memasak yang benar. (dr. Daniel Irawan

SUMBER : ASTAQAULIYAH.COM

100 Persen Perajin Gerabah di Lombok Cacingan

TEMPO Interaktif, Mataram:Sebanyak 100 persen perajin gerabah di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) mengidap cacingan. Penyebabnya karena tiap hari bersentuhan dengan tanah dan pola hidup yang jauh dari standar sehat.

Demikian hasil penelitian yang disponsori empat
lembaga, yaitu Dinas Kesehatan NTB, Ford Foundation,
Pusat Informasi Kesehatan dan Perlindungan Keluarga
(PIKPK) dan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas
Mataram.

"Hasil penelitian kami menunjukkan seperti itu. Jadi
100 persen perajin gerabah 100-nya mengidap cacingan,"
kata Reny Bunyamin, peneliti dari Dinas Kesehatan NTB, di kantornya, Senin (21/11) siang.

Jumlah sampel yang diteliti, papar Reny, sebanyak 400 perajin gerabah. Dari jumlah itu, ada 392 perempuan dan sisanya adalah pria. Lokasi penelitian berada di Desa Banyumulek-desa di Lombok yang dikenal sebagai pusat gerabah.

Setelah dilakukan pemeriksaan, seperti kotoran dan gejala klinis penyakit, ternyata 100 persennya mengidap penyakit cacingan. Jenis cacing yang ada di tubuh perajin gerabah, seperti cacing gelang (ascaris lumbriscoides) sebanyak 52 persen, cacing cambuk dan cacing kremi sebanyak 48 persen.

Reny meyakini perajin gerabah di daerah lain di Pulau Lombok, kondisinya tak jauh berbeda. Misalnya,
perajin gerabah yang ada di Desa Penunjak, Kecamatan
Praya Barat, Kabupaten Lombok Barat. Apalagi, di
kawasan itu taraf hidup ekonominya jauh lebih rendah
dari para perajin gerabah di Desa Banyu Mulek, Lombok
Barat.

Sedangkan gejala klinis yang diderita para perajin
gerabah, terutama yang perempuan, biasanya mengalami
keluhan seperti keputihan, pegal-pegal, linu, dan cepat merasa capek. Sujatmiko

SUMBER : TEMPO INTERAKTIF NASIONAL

Suka Duka Tingkatkan Gizi Anak Sekolah

oleh: Siswono
Suka Duka Tingkatkan Gizi Anak Sekolah
Gizi.net - CACINGAN dan anemia kurang gizi adalah masalah kesehatan yang sudah setua usia Republik ini. Pelbagai upaya memang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasinya. Akan tetapi, jangankan di daerah, di DKI Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan Republik ini saja masih banyak anak sekolah menderita cacingan dan kurang gizi.

Untung ada Yayasan Kusuma Buana (YKB) yang menaruh perhatian terhadap masalah lama tersebut, yang jauh dan hiruk pikuk pemberitaan media massa dan perhatian masyarakat.

Sejak tahun 1987, YKB merintis upaya pemberantasan cacingan berbasis sekolah dasar. Bermula dan belasan sekolah dasar, kini upaya itu mencakup tak kurang dari 600 sekolah dasar di Jakarta. Berbeda dengan pemerintah yang menerapkan strategi blanket untuk memberantas cacingan yaitu memberi obat cacing kepada semua anak sekolah, YKB melakukan pemeriksaan laboratorium dulu untuk menentukan status cacingan. Hanya anak yang cacingan yang diberi obat cacing. Selain itu, para guru, orangtua, dan murid di-beri penyuluhan mengenai sanitasi dan higiene. Cara ini dianggap lebih efektif untuk memberantas cacingan.

Upaya tersebut dilakukan secara swadaya. Hanya dengan membayar Rp 1.000, setiap murid akan diperiksa tinjanya dua kali setahun untuk mengetahui cacingan atau tidak.
Upaya ini berhasil menekan prevalensi cacingan dari 78,6 persen menjadi di bawah 10 persen.

“MASALAHNYA, turunnya prevalensi cacingan tidak secara otomatis meningkatkan status gizi dan kesehatan anak,” tutur Direktur Pelayanan Kesehatan YKB dr Adi Sasongko MA.

Untuk itu, YKB, dengan hibah dan Ajinomoto Inc (Tokyo), melaksanakan kegiatan peningkatan status gizi anak sekolah pasca pemberantasan cacingan.

Tahun 2000/2001 dilaksanakan di 10 sekolah dasar negeri, terutama di wilayah yang tingkat ekonominya rendah. Hasilnya, prevalensi anemia berhasil diturunkan dari 35,1 persen menjadi 4,4 persen. Melihat hasilnya, animo sekolah di sekitar sekolah dasar yang dibina YKB meningkat. Alhasil, pada tahun 2001/2002 jumlah yang dibina menjadi 13 sekolah dasar Sepuluh sekolah dasar yang dibina pada periode pertama tetap dipantau.

Kegiatan yang dilakukan berupa pemeriksaan anemia (cyanmet haemoglobine) pada awal dan akhir periode untuk seluruh siswa, pemeriksaan status gizi, serta wawancara kebiasaan sarapan dan Jajan pada sejumlah siswa kelas Ill sampai kelas V. Para murid yang terbukti menderita anemia diberi tablet besi dua kali per minggu selama 12 minggu.

Selanjutnya, guru, orangtua, dan murid diberi penyuluhan untuk memberi kesadaran pentingnya gizi. Juga dilakukan pemasangan spanduk, poster leaflet, dan pembagian stiker di sekolah.

Untuk memberi contoh menu makan yang baik, diorganisasikan kegiatan rnakan bersama secara swadaya. Seminggu sekali atau dua kali para murid diminta membawa bekal makan siang yang menunya di tentukan untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Kualitas makanan dan minuman jajanan yang dijual sekolah diperiksa, bekerja sama dengan Laboratorium institut Pertanian Bogor. Selajutnya dilakukan pemeriksaan kesehatan pengelola warung, pelatihan pengolahan dan penyediaan jajanan bergizi, serta Lomba warung Sekolah.

Hasil kegiatan periode kedua makin baik. Prevalensi anemia diturunkan dari 49,5 pe rsen menjadi 6,3 persen.

MASYARAKAT dan sekolah berharap kegiatan ini berlangsung terus. Hal ini mereka ungkapkan dalam seminar Rabu (21/8). Yang jadi masalah seperti dikemukakan Adi, adalah keterbatasan dana. Hibah Ajinomoto sebesar Rp 180 untuk tiga tahun, atau Rp 60 juta untuk membina 10 sekolah dasar per tahun.

“Untuk tahun 2001/2002 karena jumlah sekolah menjadi 13, hanya delapan sekolah yang mendapatkan kegiatan secara gratis. Lima sekolah lain harus membayar iuran Rp 2.500 per siswa,” papar Adi.

Biayanya memang tidak besar jika dibandingkan hasilnya. Pemberantasan anemia berarti pula meningkatkan kecerdasan siswa serta menghindarkan mereka dari kerentanan terhadap penyakit serta serta gangguan jantung.
Namun tetap harus ada sumber dana.

Dari pemerintah, dana sulit diharapkan. Oleh karena itu, selain melakukan advokasi ke pemerintah daerah agar memberi perhatian mengenai masalah gizi anak sekolah, YKB juga akan melakukan advokasi ke dunia usaha untuk membantu upaya peningkatan sumber daya manusia ini.
(ATK)

Sumber: Kompas, Kamis 22 Agustus 2002